Makna Istighfar menurut Imam Ali bin Abi Thalib As.
Berkata seseorang di hadapan Imam Ali bin Abi Thalib As. : “Astaghfirullah” Maka Imam Ali berkata kepada orang tersebut : “Apakah engkau tahu arti istighfar? Istighfar adalah derajatnya orang-orang yang dekat dengan Allah. Dan ketahuilah bahwa istighfar itu suatu nama yang mengandung / mempunyai 6 arti yaitu:
1. Menyesali atas apa-apa yang telah terjadi di masa lampau.
2.Bertekad untuk meninggalkan kembalinya perbuatan itu selamanya.
3. Supaya engkau memberikan kepada semua manusia hak-hak mereka sehingga engkau menemui Allah, tidak ada yang mengikutimu dari hak-hak itu.
4. Supaya engkau mengerjakan setiap kewajiban yang engkau telah tinggalkan dan engkau tunaikan hak-haknya.
5. Daging-daging yang tumbuh dari hasil pencarian yang haram, engkau lumerkan dengan kesedihan-kesedihan, sehingga melekat/menempel kulit dengan tulang dan tumbuh di antara nya setelah itu daging yang baru.
6.vSupaya engkau merasakan badan yang sakit karena mengerjakan ketaatan, seperti engkau merasakan manisnya maksiat.
Dan setelah itu, ujar Imam Ali As., barulah engkau mengucap :”Astaghfirullah”.
Berkata Imam muhammad Al-Baqir As. :
“Di bumi ini ada dua pengaman dari siksa Allah. Salah satunya telah di angkat oleh Allah dan bagian yang lain, maka berpegang teguhlah dengan yang lain itu. Ketahuilah bahwa pengaman yang telah di angkat oleh Allah adalah Rasulullah SAW dan yang lainnya ialah Istighfar.”
Wasiat Nabi SAW
Dalam sebuah kesempatan sahabat Abu Dzar al-Ghiffari ra pernah bercakap-cakap dalam waktu yang cukup lama dengan Rasulullah SAW. Diantara isi percakapan tersebut adalah wasiat beliau kepadanya. Berikut petikannya ;
Aku berkata kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, berwasiatlah kepadaku.”
Beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu untuk bertakwa kepada Allah, karena ia adalah pokok segala urusan.” “Ya Rasulullah, tambahkanlah.” pintaku. “Hendaklah engkau senantiasa membaca Al-Quran dan berzikir kepada Allah azza wa jalla, karena hal itu merupakan cahaya bagimu dibumi dan simpananmu dilangit.”
“Ya Rasulullah, tambahkanlah.” kataku.
“Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah.”
“Lagi ya Rasulullah.”
“Hendaklah engkau pergi berjihad karena jihad adalah kependetaan umatku.”
“Lagi ya Rasulullah.”
“Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka.”
“Tambahilah lagi.”
“Katakanlah yang benar walaupun pahit akibatnya.”
“Tambahlah lagi untukku.”
“Hendaklah engkau sampaikan kepada manusia apa yang telah engkau ketahui dan mereka belum mendapatkan apa yang engkau sampaikan. Cukup sebagai kekurangan bagimu jika engkau tidak mengetahui apa yang telah diketahui manusia dan engkau membawa sesuatu yang telah mereka dapati (ketahui).”
Kemudian beliau memukulkan tangannya ke dadaku seraya bersabda,“Wahai Abu Dzar, Tidaklah ada orang yang berakal sebagaimana orang yang mau bertadabbur (berpikir), tidak ada wara` sebagaimana orang yang menahan diri (dari meminta), tidaklah disebut menghitung diri sebagaimana orang yang baik akhlaknya.”
Itulah beberapa wasiat emas yang disampaikan Rasulullah SAW kepada salah seorang sahabat terdekatnya. Semoga kita dapat meresapi dan mengamalkan wasiat beliau.
Kisah Imam Husain As. yang Dibacakan Ayatullah Mar’asyi Najafi
Buat Pemuda Mabuk
Hujjatul Islam Sayyid Mahmoud Mar’asyi, anakAyatullah al-Udzma Mar’asyi Najafi yang sempat hidup bersama ayahnya selama 50
tahun menjelaskan kenangan indah mengenai kehidupan sederhana ulama besar ini :
“Suatu malam, Ayatullah Mar’asyi Najafi diundang untuk menghadiri acara akad nikah satu dari orang yang dikenalnya dan acara berlangsung lama. Ketika kembali dari acara, malam telah larut dan di tengah jalan beliau berjumpa dengan seorang pemuda mabuk yang berteriak-teriak.
Pemuda itudengan congkak bertanya, “Syeikh! Engkau datang dari mana?”
Ayatullah Mar’asyi Najafi menjelaskan kedatangannya ke daerah itu dan sekarang ini hendak pulang kerumah.
Pemuda mabuk itu kembali berkata, “Syeikh! Tolong bacakan kisah duka Imam Husain untukku!”
Ayatullah Mar’asyi Najafi pada awalnya mencari alasan dengan menyebut di sini tidak ada mimbar, lampu dan tidak terang untuk membacakan kisah duka Imam Husain.
Tiba-tiba pemuda mabuk itu menjatuhkan dirinya di atas aspal dan berkata, “Baiklah, lihat ini adalah tempat duduk dan duduklah di hadapan saya.”
Hujjatul Islam Sayyid Mahmoud Mar’asyi melanjutkan, “Ayahku kemudian melanjutkan kisahnya:
“Saya kemudian ikut duduk di depan pemuda ini. Ketika saya mulai mengucapkan Yaa Aba Abdillah, pemuda itu langsung menangis tersedu-sedu, sampai pundaknya bergerak-gerak dan membuat saya seperti terdorong oleh gerakan tubuhnya. Saya sendiri terpengaruh oleh tangisannya. Tapi melihat tangisan pemuda itu, saya segera menyadari bila kondisi ini terus berlanjut, pemuda itu akan pingsan. Akhirnya saya menyudahi kisah duka Imam Husain.
Pemuda itu mengatakan, “Syeikh! Mengapa engkau membaca kisah duka Imam Husain dengan singkat.”
Saya menjawab, “Saya merasa kedinginan.”
Ketika saya akan mengucapkan selamat tinggal kepadanya, ia berkata, bahwa saya harus mengantar Anda sampai ke depan rumah, agar tidak ada orang yang seperti saya mengganggu Anda.”
Hujjatul Islam Sayyid Mahmoud Mar’asyi mengakhiri kisah ini dengan mengutip penuturan ayahnya:
“Dua atau tiga pesan setelah kejadian itu, Saya sedang duduk di mihrab Masjid Bala Sar. Tiba-tiba mata saya terpaku pada seorang pemuda yang sedang berjalan mendatangiku. Pemuda itu langsung menjatuhkan dirinya di hadapanku serta bersumpah demi hak dan kehormatan Sayyidah Maksumah kemudian berkata, “Saya memohon maaf dari Anda.”
Ia kemudian memperkenalkan dirinya. Dari ceritanya saya baru memahami ternyata pemuda ini adalah yang pernah saya temui malam itu dalam keadaan mabuk.
Pemuda itu berkata bahwa sejak malam itu ia berubah total dan bertaubat. Ia sekarang mengikuti shalat jamaah.
Pemuda itu hingga akhir hidupnya dengan penuh kekhusyuan dan rendah hati senantiasa mengikuti shalat jamaah di shaf pertama
Salam KOPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar